Minggu, 18 April 2010

Pendidikan Inklusi


PENDIDIK SAATNYA MENJADIKAN PENDIDIKAN INKLUSI SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

Oleh: Imam Nashokha, S.Pd.
(Mahasiswa Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Malang Jurusan Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Tenaga Pendidik di SMP Negeri 8 Tanjung)


Abstrak
Profesionalitas pendidik dapat diukur dari kecakapan untuk merencanakan dan mengelola perubahan baik bersifat kebijakan administratif maupun substansi pendidikan yang bersifat makro, messeo dan mikro pembelajaran. Responsif, dinamis, memiliki kecerdasan universal dan multi disiplin serta terus berupaya meningkatkan wawasan kependidikan secara adaptif.
Konsep pendidikan inklusi yang berusah memberikan format pendidikan tanpa batas, untuk semua, cross culture of education, adalah desain baru pendidikan yang juga harus bisa dipahami dan mampu diimplementasikan dalam praktik kependidikan. Tuntutan untuk terus siap menerima perubahan sistem pendidikan global dan mempersiapkan perencanaan pendidikan dengan baik adalah skill yang harus tetap dipertahankan dan dikembangkan.

Kata Kunci: Pendidik, Pendidikan Inklusi

A. Pendahuluan
Pendidikan yang mampu melayani semua anak dalam keragaman dan perbedaan, dengan fokus untuk mengoptimalkan potensi anak secara penuh, kini menjadi kecenderungan reformasi pendidikan yang tengah dikembangkan oleh banyak negara. Karena itu, semangat baru pendidikan ini harus secepatnya mampu direspon dan dipahami oleh para pendidik dan pengelola pendidikan di negeri ini dalam upaya menyuguhkan model pendidikan terbaik untuk semua.
Kompetensi pendidikan dan pengajaran yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan profesional, baik bersifat pribadi, sosial maupun akademis dalam bidang keguruan bagi tenaga kependidikan, saatnya diterapkan secara aplikatif dan mampu merespons segala bentuk pengembangan atau desain pendidikan yang sarat perubahan lebih baik. Bahkan tambah Surya (dalam Kunandar, 2007: 47), profesionalisme pendidik akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi dan metode, terus menghargai dan mengembangkan dirinya dalam berbagai upaya pendidikan serta memiliki tanggung jawab moral yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya.
Menjalankan profesi sebagai pendidik, menurut Soedijarto (dalam Kunandar, 2007: 57) guru atau pendidik harus memiliki kemampuan: (a) merancang dan merencanakan program pembelajaran dan model pendidikan; (b) mengembangakn program pembelajaran atau pendidikan; (c) mengelola pelaksanaan program pembelajaran dan pendidikan; (d) menilai proses dan hasil pembelajaran dan pendidikan; dan (e) mendiagnosis faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran dan pendidikan. Dengan kata lain, adaptasi dan pengembangan pendidikan inklusi sebagai alternatif model pendidikan karakteristik kultural modern (cross culture of education), juga menjadi hal yang sangat penting untuk dikuasai pendidik sebagai unsur profesionalitasnya.

B. Pendidikan Inklusi
Format pendidikan inklusi dinilai dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (education for all), tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari layanan sistem pendidikan. Pendidikan inklusi ini juga diyakini membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik. Ke depan pendidikan inklusi juga bisa menghancurkan eksklusifitas sosial dalam masyarakat. Sheldon Shaeffer dari Biro Pendidikan Regional Asia Pasifik UNESCO, dalam konferensi Persiapan regional Asia Pasifik mengenai pendidikan inklusi di Denpasar Bali, akhir Mei lalu (baca: Kompas) menjelaskan, pendidikan inklusi merupakan sebuah proses menuju dan merespons keragaman kebutuhan peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat serta mengurangi ketertinggalan dalam dan dari pendidikan.
Semangat pendidikan inklusi memandang perbedaan diantara para siswa sebagai sebuah tantangan yang memberikan keuntungan, bukan hambatan dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan yang demikian mampu terlaksana jika individu mengakui bahwa semua anak berhak mendapat pendidikan berkualitas. Pendidikan inklusi, tidak hanya bagaimana mengintegrasikan sekelompok anak dalam suatu pendidikan khusus. Perlu difokuskan bagaimana mengembangkan strategi menghilangkan hambatan-hambatan dalam belajar dan sebaliknya semua anak bisa berpartisipasi. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai pendidikan berkualitas bagi semua. Karena itu, perlu diciptakan sekolah ramah anak supaya mereka sadar akan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas baik. Sheldon, juga menyebutkan sekolah ramah anak adalah sekolah yang mencari anak. Artinya sekolah itu, harus mau mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau dan membantu mereka untuk mendapatkan hak pendidikan.
Sekolah juga harus berpusat pada anak, yaitu mengembangkan potensi anak secara penuh meliputi semua perkembangan anak, yakni kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan serta peduli terhadap apa yang terjadi pada anak sebelum masuk sekolah dan setelah lulus. Terpenting dari semua adalah sekolah harus memiliki kualitas lingkungan belajar yang baik, yakni yang responsif jender, mendorong partisipasi anak-anak, keluarga dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang tertinggal dari layanan pendidikan. Mereka adalah anak-anak penyandang ketunaan atau berkebutuhan khusus, anak-anak jalanan dan pekerja anak, anak-anak yang berada di lingkungan sulit seperti konflik bersenjata dan bencana alam, anak-anak yatim piatu dan dibuang, anak-anak dari keluarga sangat miskin, anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS, serta anak-anak migran atau pengungsi.
Renato Opertti dari Biro Pendidikan Internasional UNESCO (baca: Kompas) mengatakan, pendidikan inklusi telah tumbuh menjadi perhatian dunia yang menantang proses reformasi pendidikan di negara maju dan berkembang. Sasarannya adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak yang berbeda, mengurangi ekslusifitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi semata. Karena itu, untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi ini dibutuhkan sistem pendidikan dan peran pendidik atau guru yang mengarah pada paradigma baru pendidikan, yaitu mampu memanusiakan anak-anak didik. Untuk komitmen menurut Iwa Kuntadi (2007: 2), dibutuhkan pengajaran kuat pada guru atau pendidik sejak pendidikan di perguruan tinggi hingga pendidikan selama menjadi guru. Melalui School Based Teacher Education (SBTE); Academic Based Teacher Education (ABTE); Collaborative Teacher Education (CTE); Performance Based Teacher Education (PBTE); dan Competency Based Teacher Education (CBTE).
Pengajaran guru seharusnya didasarkan pada paradigma untuk bisa memahami siswa dalam keberadaannya. Dengan kurikulum yang fleksibel, pendidik atau guru akan mudah mengerti mengenai perbedaan anak-anak yang memiliki kapasitas khas. Karena bagi H.A.R.Tilaar (1999: 281), memandang profesi guru pada abad ke 21 merupakan suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik serta berhadapan dengan tiga karakteristik, yaitu; (1) masyarakat teknologi, (2) masyarakat terbuka, (3) masyarakat madani. Adapun proses pendidikan yang adalah interaksi yang terjadi di masa depan sesuai dengan teknologi yang ada, masyarakat yang terbuka dan demokrasi. Atas dasar itu, pendidikan inklusi itu juga merespons kebutuhan budaya dan kelompok sosial beragam. Ini tantangan tidak mudah, tetapi pendidikan sedang menuju kepada pembiasaan untuk menerima keragaman mulai dari sekolah.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebijakan pendidikan Indonesia mengharuskan tidak boleh ada anak tertinggal layanan pendidikan dan pendidikan dilakukan secara holistik (baca: Kompas). Tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, heterogen dan wilayah yang sangat luas. Upaya menjangkau semua warga untuk menikmati pendidikan terus dilakukan dan ditingkatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang berbagai ketunaan dan anak cerdas istimewa mendapat pendidikan khusus, dengan sekolah atau kelas khusus (akselerasi). Sedangkan untuk anak-anak jalanan, di daerah terisolasi, miskin, pengungsi atau daerah konflik dan bencana alam juga diberikan pendidikan layanan khusus. Tidak terlupakan tuntutan tenaga kependidikan untuk dapat memiliki kualifikasi, kompetensi dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya terus diupayakan (Kunandar, 2007: 40).

C. Penutup
Untuk menjadi profesional, para pendidik tidak saja harus menguasai bahan mengajar dan kurikulum sekolah, mampu mengelola program belajar-mengajar, mengelola kelas dengan baik, ahli menggunakan media pembelajaran, tetapi juga harus menguasai landasan dan filosofis pendidikan.
Format pendidikan inklusi, yang menawarkan desain pendidikan untuk semua, tidak membedakan, relationship, inklusif dan terbuka untuk semua kalangan anak tanpa kecuali, merupakan elemen pendidikan yang juga menuntut keahlian para pendidik untuk terus berlomba-lomba mewujudkan sistem pendidikan terbaik bagi masyarakat, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, yang bermoral dan bermartabat kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

UNESCO. 1997. Training of Teacher/Trainers in Technical and Vocational Education Section for Technical and Vocational Education.
Iwa Kuntadi. 2007. Profesionalisme Guru untuk Meningkatan Mutu Pendidikan dalam Era Teknologi Informasi. _______
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen pendidikan nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
----------. 2008. Arah Baru Pendidikan, Harian Kompas, edisi 9 Juni 2008
Yusuf, Indra. 2008. Menakar Kualitas Pendidikan Kita. Harian Kompas, edisi 21 Juli 2008.
----------. 2008. Proposed Outcomes in TVET Asia Pacific Conference. Adelaide.

Sumber/di Publikasikan oleh: Media Bersinar Volume VII No. 29 Tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.